??? ???????

Post Top Ad

Your Ad Spot

Wednesday, September 26, 2012

Pesantren Pencetak Generasi Bangsa dan Agama



”Wahai pemuda putra bangsa yang cerdik pandai dan para ustadz yang mulia, mengapa kalian tidak mendirikan saja suatu badan usaha ekonomi yang beroperasi, dimana setiap kota terdapat satu badan usaha yang otonom.”
K. H. Hasyim Asy’ari (Deklarasi Nahdlatut Tujjar 1918)
Ketika pada Juni 2011 Nahdlatul Ulama (NU) sukses menggelar expo atau pamerannya di Jakarta, kemudian dilanjutkan dengan pagelaran keduanya di Grand City, Surabaya, beberapa waktu yang lalu, banyak yang beranggapan bahwa saat ini NU kembali ”masuk treknya”. Benarkah?
Telah disepakati bahwa NU berdiri bukan hanya di atas satu faktor; mengkhawatirkannya pergerakan kalangan reformis di Timur Tengah, utamanya ancaman gerakan Wahabi. Tapi juga karena satu dan faktor lain, yang biasa dikenal dengan tiga pilar faktor lahirnya NU, termasuk masalah ekonomi.
Mungkin dengan latar belakang itulah, kenapa pada tahun 7 Juli 1990 silam, Gus Dur selaku Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menekan kontrak kerjasama dengan Edward Soeryadjaya selaku pemilik Bank Summa. PBNU dan Summa membuat Nusumma, sebuah gerakan dengan visi membuka ribuan bank rakyat atau sejenis BPR (Bank Perkreditan Rakyat) di seluruh Indonesia agar ekonomi umat Islam lebih dan sejajar dengan etnis Cina yang kala itu lebih sejahtera. Dalam kelanjutannya, program itu harus dihentikan karena Bank Summa ”dipaksa gulur tikar” oleh pemerintah. Banyak yang beranggapan, kolaborasi PBNU-Summa tidak berlangsung lama gara-gara program Nusumma tidak sejalan dengan visi pembangunan negara Soeharto; kolaborasi penguasa dan konglomerat. Bukan konglomerat dengan organisasi kemasyarakatan.
Nah, dengan melihat langkah-langkah yang telah dan akan dilakukan oleh PBNU, kiranya cukup beralasan jika saat ini kita sedang menyaksikan NU sedang gencar ”memegang” pilar-pilarnya, terutama yang telah lama dikesampingkan, Nahdlatut Tujjar; Perekonomian.
Berbicara Nahdlatut Tujjar (NT) sendiri, sampai sejauh ini, belum ada satu buku pun yang khusus membahas tentang NT. Yang ada, sekedar pengetahuan kalau NT adalah gerakan yang lahir atas ekspresi para ulama di tiga jalur strategis Jawa Timur; Surabaya, Jombang dan Kediri. Dan kalaupun ada catatan yang membahas tentangnya, biasanya itu hanyalah bagian kecil dari salah satu sub-bahasan buku atau artikel yang dikaitkan dengan sejarah ’periode awal’ NU. [1] Hal ini terjadi karena beberapa faktor. Diantaranya adalah: Pertama, sejarah NT tidak pernah terdokumentasikan secara rapi baik oleh pendiri atau penerusnya. Kedua, ketidaktahuan kalangan peneliti mengenai keberadaa NT dan pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia kala itu. Ketiga, kemungkinan adanya distorsi penulisan sejarah.
Di sini, penulis juga tidak akan berbicara tentang NT itu sendiri. Sebagaimana judul tulisan ini, penulis mencoba membuka wacana berpikir masyarakat yang masih saja beranggapan bahwa pesantren adalah tempat ”generasi tanpa masa depan”.
Seperti yang saat ini digalakkan oleh pemerintah dengan serius ”memonitor” Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), merupakan suatu bukti bahwa kalangan akademis yang mulanya dimaksudkan mampu menyejahterakan lingkungannya, lebih luas lagi memakmurkan negeri ini, tidak lagi bisa diharapkan. Mereka muncul hanya sebatas ”pelengkap raksasa”, kesana-kemari menjual status akademisnya. Hanya segelintir dari mereka yang mau berdiri di atas kaki sendiri. Atau dalam bahasa lain, tidak ada yang berminat jadi seorang pengusaha.
Memang, tidak mudah menjadi seorang pengusaha sukses. Tapi bukankah ”raksasa-raksasa” yang sekarang ini berdiri kokoh, dulunya bermula dari nol besar?
Dari yang penulis ketahui, setidaknya ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seseorang ketika dia mau menjadi pemakmur lingkungannya. Pertama, percaya diri.
Di tengah kondisi ekonomi seperti sekarang ini, tidak bisa dipungkiri membangun kepercayaan diri menjadi seorang pengusaha itu tidak mudah. Mau bisnis apa dan dimulai dari mana, setidaknya menjadi tanda tanya besar. Apalagi ketika dibenturkan dengan keterbatasan modal, tentu semakin rumit. Tanda tanya itu akan terjawab jika seseorang memiliki kepercayaan diri yang ”tidak umum”. Termasuk kepercayaan bahwa kesuksesan finansial ada yang ”menggaris”. Dengan kepercayaan dirinya, dia terus berusaha menemukan ”garis” itu sesuai dengan apa yang diimpikan.
Kedua, kepercayaan itu diracik dengan memilih bisnis yang tepat; bidang yang disukai dan dikuasai. Karena dengan memilih pekerjaan yang disukai, seseorang akan menjadi sosok yang ”mengalir” dalam pekerjaan, tanpa beban. Dan karena hal itu adalah bidang yang dikuasainya, seseorsng juga akan bekerja tanpa tekanan. Dengan dua hal ini, bisa dipastikan hasil kerjanya akan lebih memuaskan jika dibandingkan dengan mereka yang bekerja dibawah tekanan.
Dalam kelanjutannya, pengusaha dituntut untuk terus belajar dan pantang menyerah. Hal ketiga ini, seseorang dituntut harus bisa meracik ”ramuan-ramuan” baru atau menciptakan sebuah inovasi, setidaknya, agar bisnisnya tidak tergilas oleh kompetitor. Bahkan dengan kegigihan dan racikannya, bisa jadi, tanpa ia sadari, dialah yang jadi penggilas.
Menjalankan semuanya itu, jelas butuh hal keempat, sebuah kedisiplinan tingkat tinggi. Karena dari kedisiplinan seorang pemimpin, sedikit banyak akan mempengaruhi ”gaya hidup” rekan kerjanya. Dan bisa dipastikan, dalam rangka menyelamatkan posisinya, rekan-rekannya sebisa mungkin mengikuti pola yang diterapkan sang pemimpin. Jika kedisiplinan itu bisa terjaga dalam sebuah tim, tentu kita tidak bisa meragukan akan apa yang mereka peroleh.
Ketika satu dan dua tangga telah mampu diraih oleh tim tersebut, tentu mereka butuh tangga lain guna menyongsong mimpi-mimpinya. Sampai di sini, maka mau tidak mau mereka harus memiliki hal kelima, memperluas jaringan; menggencarkan promo dan mempertahankan servis memuaskan pada pelanggan.
Nah, terkait judul tulisan ini, mari kita evaluasi poin-poin di atas dengan melihat tradisi masyarakat pesantren.
Percaya diri yang menjadi poin pertama, penulis kira hal ini tidak perlu lagi diragukan bagi masyarakat pesantren. Karena sebagaimana maklum –tanpa mengesampingkan kalangan pesantren yang ”gagal”, kalangan pesantren notabenenya adalah mereka yang mempunyai ”relasi” dengan dimensi metafisik. Dimensi yang menjadikan relasinya penuh dengan kepercayadirian.
Point kedua juga tidak bisa kita hilangkan dari masyarakat pesantren. Karena jangan lupa, setiap orang dianugerahi keterampilan tersendiri, termasuk kang santri. Bahkan tidak sedikit yang berkata, santri cenderung memiliki imajinasi dan kreatifitas diluar kebanyakan. Dan dengan imajinasi serta kreatifitasnya itu, mereka akan terus berbenah.
Menjaga kestabilan apa yang telah diraihnya itu, masyarakat pesantren terbiasa dengan rutinitas padat. Dari kegiatan jamaah salat saja, bisa dipastikan, hal itu melatih mereka untuk mengatur waktu sebaik mungkin, sebuah kegiatan yang harus memiliiki kedisiplinan tingkat tinggi.
Untuk masalah promo, penulis kita masyarakat pesantren jauh lebih memiliki peluang. Karena sebagaimana maklum, hampir jarang ditemukan sebuah pesantren dihuni oleh masyarakat satu wilayah. Kebanyakan, terlebih di pesantren besar, di dalamnya terdapat berbagai macam suku bangsa. Keberagaman itu, jelas merupakan point tersendiri guna memperluas jaringan mereka.
Walhasil, di banyak tempat, bukan isapan jempol kalau masyarakat pesantren telah menjadi saudagar-saudagar pemakmur masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Dengan realita yang demikian adanya, masihkah kita memandang pesantren sebelah mata?
Referensi:
1. Jarkom Fatwa, Sekilas Nahdlatut Tujjar, Pustaka Pesantren
2. Reny Y, 20 Peluang Usaha Modal Dengkul, Lutfi Agency

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Your Ad Spot

???????