??? ???????

Post Top Ad

Your Ad Spot

Saturday, September 22, 2012

AL HAWALAH


Pengertian al-Hawalah
Al-Hawalah didefinisikan sebagai berikut

عَقْدٌ يَقْتَضِي انْتِقَالَ دَيْنٍ مِنْ ذِمَّةٍ إلَى أُخْرَى

Kontrak yang menetapkan pengalihan hutang dari tanggungan seseorang (yang berhutang) kepada orang lain yang wajib menanggungnya
Lebih lanjut a

l-Jalal al-Mahaly mengilustrasikan demikian

أَنْ تُحِيلَ مَنْ لَهُ عَلَيْكَ دَيْنٌ عَلَى مَنْ لَك عَلَيْهِ مِثْلُهُ فَتَقُولُ أَحَلْتُكَ بِعَشْرَتِكَ عَلَيَّ عَلَى فُلَانٍ بِعَشْرَتِي عَلَيْهِ فَيَقُولُ احْتَلْت

Yakni dengan cara engkau (Muhil) memindahkan tanggungan hutangmu dari orang yang berpiutang (Muhal) kepadamu, (dialihkan) menjadi tanggungan orang yang berhutang kepadamu (Muhal ‘alaih) dengan jumlah yang menyamai. Kemudian engkau katakan (kepada Muhal), ‘Aku memindahkan sepuluh (ribu) yang ada dalam tanggunganku, menjadi tanggungjawab Fulan yang memiliki tanggungan hutang padaku sepuluh (ribu)’. Kemudian Muhal menjawab, ‘Aku terima inisiatif pemindahan itu’.”
Secara sederhana, dapat dijelaskan bahwa A (muhal) memberi pinjaman pada B (muhil). Sedangkan B masih mempunyai piutang pada C (muhal ‘alaih). Begitu B tidak mampu membayar hutangnya pada A, ia berinisiatif mengalihkan beban hutang tersebut pada C. Dengan demikian C adalah pihak yang harus membayar hutang B kepada A, sedangkan hutang C sebelumnya pada B dianggap selesai dan lunas.
Eksistensi hawalah merupakan eksepsi (pengecualian) dari larangan merealisasikan kontrak bai’ ad-dain bi ad-dain (penjualan piutang dibeli dengan piutang yang lain). Dengan gambaran, pihak muhal menjual piutangnya pada muhil dibeli dengan piutang muhil pada muhal ‘alaih atau dalam praktek lain muhil menjual piutangnya pada muhal ‘alaih dibeli dengan piutang muhal pada muhil. Dalam hal ini hawalah dilegalkan sebagai rukhsah (dispensasi) syariat berdasarkan hajat atau kebutuhan umat untuk mendapatkan kemudahan bertransaksi. Sehingga dalam hal ini hawalah tidak perlu lagi disyaratkan adanya prosesi at-taqabudh fi al-majlis (serah terima di tempat transaksi sebelum kedua pihak berpisah) dan tidak dibenarkan melakukan al-iqalah, yakni pembatalan akad atas kesepakatan kedua belah pihak.
Pendapat lain di kalangan Syafi’iyyah memposisikan hawalah sebagai perwujudan istifa’ (penagihan piutang), bukan bai’ (jual beli) sebagaimana di atas. Dalam arti, muhal dianggap telah menagih piutangnya pada muhil, kemudian ia alihkan piutang itu pada muhal ‘alaih.
Landasan Syariah
Transaksi ar-rahn ditetapkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya;
1. As-Sunnah
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ

Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman. Dan jika salah
seorang dari kamu dihawalahkan kepada orang yang mampu (kaya), maka terimalah hawalah itu”
Rasulullah memberitahukan kepada orang yang memiliki piutang, jika pihak yang berhutang meng-hawalah-kan kepada orang yang mampu (kaya), hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan kemudian menagih pelunasannya kepada orang yang di-hawalah-kan (muhal ‘alaih). Dengan demikian haknya dapat terpenuhi.
Sebagian ulama mengomentasi bahwasanya perintah untuk menerima hawalah dalam hadits tersebut menyimpulkan hukum wajib. Sedangkan versi mayoritas ulama, perintah itu hanya menunjukkan hukum sunnah. Yang artinya sunnah bagi muhal menerima hawalah yang ditawarkan pihak muhil. Namun hukum sunnah ini dengan ketentuan muhal ‘alaih merupakan pihak yang memiliki kemampuan membayar pada pihak muhal serta harta yang ia miliki tidak mengandung unsur syubhat (tidak jelas status halal haramnya).
2. Al-Ijma’
Ulama menyepakati bolehnya kontrak hawalah. Dan kontrak ini diperbolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang atau benda. Hal ini dikarenakan hawalah adalah perpindahan hutang, oleh sebab itu harus dilakukan pada obyek kewajiban finansial.
Rukun Dan Syarat al-Hawalah
Mayoritas ulama menetapkan rukun hawalah berjumlah enam, yakni
1. Muhil (المحيل), yaitu orang yang berhutang dan berpiutang
Dalam hal ini muhil harus memenuhi beberapa persyaratan;
Dalam hal ini seorang muhil harus memenuhi kualifikasi ahl al-’aqd (legal bertransaksi). Artinya, harus berakal sehat dan baligh. Sehingga anak kecil yang belum mencapai taraf tamyiz dan orang gila, tidak sah menawarkan kontrak hawalah. Karena mereka dinilai setara dengan manusia yang tidak berakal. Sedangkan akal menjadi penentu keabsahan penanganan sebuah transaksi.
2. Muhal (المحال) atau muhtal (المحتال), yaitu orang yang berpiutang.
Seorang muhal, bagaimana muhil juga harus berakal sehat dan baligh. Akal dibutuhkan bagi muhal, karena dia harus melaksanakan qabul sebagai salah satu rukun hawalah. Dan orang yang tidak berakal bukanlah ahl al-qabul (legal qabul-nya). Seseorang yang belum mencapai taraf baligh juga dinilai tidak sah melakukan qabul, dikarenakan secara syar’i ucapan yang muncul dari dirinya tidak dipertimbangkan dalam formalitas muamalah.
3. Muhal ‘alaih (المحال عليه) atau muhtal ‘alaih (المحتال عليه), yaitu orang yang berhutang dan berkewajiban membayar hutang kepada muhal.
Sebagaimana dua pihak di atas, muhal ‘alaih juga harus berakal sehat dan baligh. Orang gila dan anak kecil, meskipun sudah mencapai taraf tamyiz tidak sah menerima pelimpahan tanggungan dalam hawalah. Hal ini dikarenakan dalam kesanggupan muhal ‘alaih untuk menanggung beban muhil serta membayarkannya kepada muhal terdapat unsur tabarru’ (pemberian tanpa imbal balik (iwadl) karena motif berbuat kebajikan).
4. Muhal bih (المحال به) atau muhtal bih (المحتال به), yaitu hutang muhil kepada muhal.
Ada beberapa ketentuan pada muhal bih, yakni;
a. Harus berbentuk hutang, bukan barang atau benda.
b. Harus berbentuk hutang yang lazim, yakni hutang yang secara dzatiah tidak menerima hak pembatalan dari tanpa sabab-musabab, sebagaimana pinjaman dari qardlu pasca serah terima. Atau minimal mendekati lazim (ayil ila al-luzum), sebagaimana tanggungan harga barang pada masa-masa khiyar.
5. Hutang muhal ‘alaih kepada muhil.
Ada beberapa syarat dalam rukun ini, yakni;
a. Harus berbentuk hutang yang lazim, atau minimal mendekati lazim (ayil ila al-luzum), sebagaimana tanggungan muhal bih di atas.
b. Harus sama persis dengan muhal bih, dari sisi hulul (sistem langsung) dan ajal-nya (sistem tunda sampai waktu yang disepakati), juga dari sisi kualifikasi jenis, kadar (jumlah) dan sifatnya.
6. Shighat (الصيغة).
Menggunakan ijab dan qabul dan dilaksanakan di tempat terjadinya kontrak. Contoh ijab sebagaimana ucapan muhil; “Aku hawalah-kan tanggungan hutangku kepadamu menjadi tanggungan Fulan”. Kemudian muhal melakukan qabul; “Aku terima hawalah-mu”.
Syarat Sah Dalam al-Hawalah
Selain ketentuan di atas, untuk menjamin keabsahaan hawalah dibutuhkan beberapa persyaratan sebagai berikut;
a. Wujudnya piutang muhil dalam tanggungan muhal ‘alaih. Sehingga tidak sah melaksanakan kontrak hawalah kepada pihak yang tidak mempunyai tanggungan hutang pada muhil.
b. Adanya kerelaan dari pihak-pihak yang melaksanakan kontrak hawalah, dengan perincian sebagai berikut;
Pertama, harus adanya kerelaan (ridla) dari muhil. Hal ini dianggap penting karena muhil memiliki pilihan menyelesaikan hutangnya pada muhal dengan dua cara, membayar dari hartanya sendiri atau melunasinya melalui perantara muhal ‘alaih. Pada saat muhal merasa diuntungkan menggunakan cara kedua, sudah semestinya muhil harus dimintai kerelaannya.
Kedua, harus adanya kerelaan muhal, sebagaimana muhil. Karena muhal memiliki hak menentukan pihak mana yang ia nilai lebih tepat menanggung piutangnya. Paksaan dari pihak lain hanya akan mengakibatkan potensi dzarar (ekses negatif) bagi muhal.
Ketiga, tidak disyaratkan kerelaan muhal ‘alaih. hal ini disebabkan posisinya yang berstatus sebagai penanggung beban piutang dari muhil. Dan tentunya muhil berhak dan boleh mengambil haknya pada muhal ‘alaih dengan dirinya sendiri atau melalui bantuan orang lain. Hanya saja menurut ulama yang memposisikan hawalah sebagai istifa’ (penagihan hutang), bukan bai’ (jual beli), maka kerelaan muhal ‘alaih juga mutlak dibutuhkan.
c. Pihak muhil dan muhal harus mengetahui secara jelas identifikasi muhal bih dan hutang muhal ‘alaih pada muhil, baik dari sisi kadar (jumlah), jenis dan sifat-sifatnya.
Konskuensi kontrak al-Hawalah
Apabila kontrak hawalah telah dilaksanakan dan berjalan sah, maka tanggungan muhil menjadi gugur dan berpindah menjadi tanggungan muhal ‘alaih. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan, membantah hawalah, atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh lagi menuntut muhil. Demikian pendapat mayoritas ulama. Dan keabsahan hawalah menjadikan kontrak ini bersifat lazim (tidak menerima pembatalan) dan tidak mentolerir penerapan khiyar baik khiyar majlis (pilihan melanjutkan atau membatalkan kontrak saat di tempat kontrak) maupun khiyar syarth (pilihan melanjutkan atau membatalkan kontrak melalui persyaratan).

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Your Ad Spot

???????